PENGERTIAN,
RUANG LINGKUP DAN MANFAAT PEMBELAJARAN ILMU AKHLAK.
A. PENGERTIAN ILMU AHKLAK
Ada dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan ahklak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasan),
dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut bahasanya, ahklak berasal
dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata ahlaqa,
yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af ala, yuf
lu if alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at,
watak dasar) al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik),
dan al-din (agama).[1]
Namu akar kata ahklak dari akhlaqa
sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar dari kata
akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat
yang mengatakan bahwa secara linguistik
kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang
tidak memiliki akar kata, melaikan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Kata akhlaq adalah jamak dari kata
khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlaq sebagaimana telah
disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua duanya dijumpai
pemakaiannya baik dalam al-qur’an, maupun al-hadis, sebagai berikut;
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’
Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.
(qs.al-qur’an, 68:4)
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
(Agama kami) ini tidak lain hanyalah
adat kebiasaan yang dahulu
(qs. Al-syu’ara, 26:137)
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Orang mukmin yang paling sempurna
keimanannya adalah orang sempurna budi pekertinya. (HR.turmudzi)
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bahwasanya aku diutus (ALLAH) untuk
menyempurnakan keluhuran budi pekerti. (HR. Ahmad).
Ayat yang pertama disebut di atas
menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, sedangkan ayat yang kedua
menggunakan kata akhlak untuk arti adat kebiasaan.
Selanjutnya hadis yang pertama
menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti,dan hadis yang kedua
menggunakan kata akhlak yang juga digunakan untuk arti budi pekerti. Dengan
demikian kata akhlaq atau khuluq secara bahasa berarti budi pekerti, adat
kebiasaan, perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Pengertian akhlak dari sudut
kebahasaan ini dapat membantu kita dalam menjelaskan pengertian akhlak dari
segi istilah. Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah ini kita
dapat merunjuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih
(w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak
terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa akhlak
adalah:
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerluka pemikiran dan
pertimbangan.[2]
Sementara itu imam al-Ghazali
(1059-1111 M). yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul islam (pembela islam),
karena kepiawaiannya dalam membela islam dari berbagai paham yang dianggap
menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan, akhlak
adalah:
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tampa memerluka
pemikiran dan pertimbangan.[3]
Sejalan dengan pendapat tersebut di
atas, dalam Mu’jam al-Wasith, ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah:
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tampa membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan.[4]
Selanjutnya di dalam kitab dairatul
Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan,
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Sifat-sifat manusia yang terdidik.
Keseluruhan defenisi ahklak tersebut
di atas tampak tidak ada yang bertentanggan, melainkan memiliki kemiripan
antara satu dan yang lainnya. Defenisi-defenisi ahklak tersebut secara
substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri
yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadiannya. Jika kita mengtakan bahwa si A misalnya sebagai orang yang
berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan
dan di manapun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang
membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut kadang-kadang
dermawan, dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum dapat dikatakan
sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga jika kepada si B kita mengatakan
bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat beribadah tersebut
telah dilakukannya dimanapun ia berada.
Kedua, perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti
bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan
tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakuka
suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan,
mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah
perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuata yang dilakukan oleh
orang-orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah
berdarah daging, sebagaimana telah disebutkan pada sifat yang pertama, maka
pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau
pemikiran lagi. Hal yang demikian tak ubahnya dengan seseorang yang sudah
mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka pada saat datang panggilan
shalat ia sudah tidak merasa berat lagi mengerjakannya, dan tanpa pikir-pikir lagi
ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.
Ketiga,
bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Oleh karena itu jika ada seseorang yang melakukan sesuatu
perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau
ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam akhlak dari
orang yang melakukannya. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan, bahwa ilmu
akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat di nilai
baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang baik atau buruk itu dapat
dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan yang tidak dapat disebut perbuatan
akhlak, dan tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang
dilakukan tidak atas dasar kemauannya atau pilihannya seperti bernafas,
berkedip, berbolak-baliknya hati, dan kaget ketika tiba-tiba terang setelah
sebelumnya gelap tidaklah disebut akhlak. Karena perbuatan tersebut yang
dilakukan tanpa pilihan.
Keempat,
bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang berbuat
kejak, sadis, jahat dan seterusnya, tapi perbuatan tersebut kita lihat dalam
pertunjukkan film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan
akhlak, karena perbuatan tersebut bukan perbuata yang sebenarnya. Berkenaan
dengan ini, maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain
sebagai berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan
sesungguhnya bahwa perbuatan tersebut memang dilakukan dengan sebenarnya. Hal
ini perlu dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara,
atau berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang sesungguhnya dapat dilakukan
melalui cara yang kontinyu dan terus-menerus.
Kelima, sejalan dengan cirri yang
keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang
dilakukan karena iklas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji
orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian. seseorang yang melakukan
perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhklak.
Dalam
perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran
dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam
akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan
membentuk suatu ilmu. Dalam da’iratul Ma’arif Ilmu Akhlak adalah:
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan
cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara
menghindarinya hingga jiwa kosong daripadanya.
Di
dalam Mu’jam al-wasith di sebutkan bahwa ilmu akhlak adalah:
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ilmu yang objek pembahasannya adalah
tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat
disifatkan dengan baik atau buruk.
Selain
itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang tat
karma.
[1] Jamil
shaliba, al-mu’jam al-falsafi, juz I, (mesir:dar al-kitab al-mishri, 1978),
hlm.539.
[2] Ibn
miskawaih, tahzib al-akhlaq wa tathhir al-a’raq,(mesir:al-mathba’ah al-mishriyah,
1934), cet. I, hlm. 40.
[3] Imam
al-ghazali, ihya’ulum al-din, jilik III, (Beirut: dar al-fikr,t.t), hlm.56.
[4] Ibrahim
anis, al-mu’jam al-wasith,(mesir: dar al-ma’arif, 19720,hlm.202.
No comments:
Post a Comment