latar belakang diturunkan nya surat al-qafirun
q.s. al-qafirun ayat (1-6)
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا
أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya:
1). Katakanlah: Hai orang-orang kafir
2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
4). Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
6). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku
1). Katakanlah: Hai orang-orang kafir
2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
4). Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
6). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku
Surat Al-Kafirun ini
merupakan surat yang ke 109 dengan jumlah ayat 6.
latar belakang dirunkannya dari Q.S Al-Kafirun ini adalah
karena ajakan orang-orang kafif atau kaum musyrikin Quraisy kepada Rasulullah
SAW untuk menyembah tuhan (berhala) yang mereka sembah. Mereka ingin mengajak
Rasulullah SAW dan para saabat untuk menyembah tuhan orang-orang musyrikin
mekah dalam waktu satu tahun, baru kemudian orang orang musryrikin Quraisy akan
menyembah Allah swt selama satu tahun juga di tahun berikutnya. Dari peristiwa
itu, kemudian Allah swt menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW untuk
menjawab ajakan kaum kafir mekkah tersebut.
Pada ayat yang pertama dan kedua, Nabi Muhammad SAW menyeru
kepada orang-orang kafir dan memberi jawaban kepada orang kafir, sesuai dengan
wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. Kemudian dilanjutkan dengan jawaban yang
sangat tegas yang isinya menolak ajakan dari orang-orang kafir Quraisy untuk
menyembah tuhan (berhala) yang orang-orang kafir sembah.
Orang-orang kafir yaitu orang-orang yang tidak patuh terhadap
Allah SWT, atau menolak kebenaran Allah swt dan tidak mau untuk menyembah dan
beribadah kepada Allah swt. Perilakunya disebut dengan kufur.
Dalam surat ini salah satu pesannya yaitu keimanan kita
kepada Allah swt tidak boleh dicampuradukan dengan kepada selain-Nya. Sebagai
umat Islam kita tidak boleh melakukan perbuatan syirik yaitu menyembah selain
kepada Allah, perbuatan syirik termasuk perbuatan dosa yang sangat besar.
Pernyataan Rasulullah SAW yang menolak untuk menyembah Tuhan (berhala) yang
orang-orang kafi semba terdapat dalam ayat 2 Surah AL-Kafirun.
Isi kandungan dari Q.S. Al-Kafirun yang selanjutnya yaitu
Rasulullah SAW setelah menolak untuk menyembah tuhannya orang kafir kemudian
memberikan ketegasan kepada orang-orang kafir bahwa mereka orang-orang kafir
bukan penyembah Allah swt yang Rasulullah SAW dan para sahabat sembah.
Pada ayat yang ke-enam atau terakhir Nabi saw memberikan
ultimatum atau kesimpulan kepada orang-orang kafir untuk tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain untuk menganut suatu agama. Ini artinya bahwa setiap
orang berhak memilih dan menganut agama sesuai dengan yang diyakini. Jadi isi
pokok kandungan Q.S. Al Kafirun..
Kita dapat mengambil kesimpulan tentang isi kandungan Q.S. Al
- Kafirun tentang toleransi dalam beragama, yaitu ada dua kata. Kata yang
pertama adalah "kebebasan" dan kata kunci yang kedua
adalah "batasan".
Kita mulai dari kata kunci yang pertama yaitu
"kebebasan". Kata kebebasan dalam isi kandungan Q.S. Al-Kafirun itu
artinya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih akidah dan
kebebasan untuk beribadah sesuai keyakinan yang telah dipilihnya. Kebebasan
beribadah tidak dimaknai secara internal atau beribada dengan caranya
sendirinya.
Sebagai contoh, Islam mengajarkan dan mewajibkan kita
untuk shalat lima waktu, kita tidak bisa menawar jumlah shalat
lima waktu tersebut menjadi tiga waktu. Kebebasan beribadah hanya dalam
hubungan eksternal atau hubungan anatara pemeluk agama yang satu dengan dengan
pemeluk agama lain.
Kita harus bertoleransi terhadap pemeluk agama lain untuk
beribadah sesuai agamanya. Kita tidak boleh mengganggu mereka ketika melakukan
ibadah, dan begitu juga sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan kata kunci
"batasan", bahwa sikap toleransi seorang muslim hanya menyangkut
hubungan sosial antar manusia dan ibada dalam arti eksternal.