SEJARAH PENDIDIKAN DI ACEH
1.
Proses
masuknya Islam ke Aceh ialah, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab. Daerah yang pertama kali
didatangi olehsisir sumatera, adapun Islam yang pertama adalah di pasai.
Masuknya Islam ke Aceh ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari
Arab. Dan jalur yang digunakan adalah :
1.
Perdagangan yang mempergunakan sarana pelayaran.
2.
Dakwah, yang dilakukan oleh Mubaligh yang berdatangan
bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai Sufi
Pengembara.
3.
Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim,
mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti
sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
4.
Pendidikan, pusat-pusat perkonomian itu berkembangan
menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
5.
Kesenian, jalur yang banyak sekali dipakai untuk
penebaran Islam terutama di Jawa adlah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat
penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih
dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak member
pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam
di daerah Aceh, peranan Mubaligh sangat
besar. Karena mubaligh tersebt tidak hanya berasal dari Aceh, tetapi juga
Persia, India. Juga dari Negeri sendiri.
A.
Perkembangan Islam di Aceh
Ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat Islam mudah
berkembangan di Aceh, yaitu letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan
Jalur Timur Tengah dan Tiongkok. Pengaruh Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya
di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak
antara Palembang dan Aceh cukup jauh.
B.
Pengkajian Islam pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh
1.
Zaman kerjaan samudra pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan
samudra pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik
Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shleh dan yang terakhir
bernama Al-Malik Sabar Syah (Tahun 1444M/ abad ke-15 H).
Menurut Ibnu Batutah. Pasai pada abad ke-14M, sudah
merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyaknya ulama-ulama yang
berkumpul dan Negara-negara Islam. Bentuk pendidikan yang digunakan dengan cara
diskusi, yang disbut Majlis Ta’lim atau Halaqoh, sistem Halaqoh yaitu murid
mengambil posisi melingkari guru. Dan guru duduk ditengah dengan dilingkari
murid dan posisi seluruh wajah murid terhadap guru.
2.
Zaman kerajaan perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh.
Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (Tahun 1161-1186 H/ abad 12 M). Antara
pasai dan perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja pasai
menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat
strategis di pantai selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.
Kerajaan Islam perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam
di Dayah Cot Kala. Dayah juga di samakan dengan Prguruan Tinggi, materi yang
diajarkan seperti Bahasa Arab, Tauhid, Tasawuf, Akhlak, Ilmu Bumi, Ilmu Bahasa
dan Sastra Arab, sejarah dan Tatanegara, Mantiq, Ilmu Falaq, dan Filafat.
Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran
Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3H, abad ke 10 M inilah pusat
pendidikan pertama.
3.
Zaman kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil
peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan kerajaan Islam samudra pasai
di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan
Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Pada masa kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan Masjid sebagai tempat beribadah
umat Islam. Salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga
dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (Fakultas).
-
Sultan Alaiddin Abdul Azizi, Pembangun Awal kebudayaan Islam di Indonesia.
Kerajaan Islam perlak dengan cepat membangun pusat-pusat
pendidikan di tiap-tiap kampungn yang dinamakan Madrasah, yang kemudian dalam
perjalanan sejarah menjadi Meunasah. Yang tetap ada sampai sekarang di
tiap-tiap gampong di Aceh.
-
Sultan Alaiddin Johan Syah, Pembangun Pusat Kebudayaan Islam Banda Aceh.
2.
Kesulitan yang dialami oleh lembaga pendidikan Islam
selama penjajahan Belanda di Aceh ialah,
keberadaan Belanda di Indonesia tentunya akan menyulitkan Islam untuk
mendirikan lembaga pendidikan Islam. Karena Belanda sendiri punya tujuan untuk
menyebarkan agama Kristen prostestan di Indonesia. Proses kristensasi yang
dilakukan Belanda kepada masyarakat pribumi dengn cara membangun lembaga
pendidikan Kristen.
Selain lembaga
pendidikan Kristen, Belanda juga mendirikan beberapa lembaga pendidikan khususnya bagi masyarakat Belanda
seperti Meer Uitggebreid Lager Onderwij (MULO) setingkat SMP. Algemene
Middlebare School (AMS) setingkat SMA, dan Kweek School (KS) sekolah Guru.
Pada tahun 1905 M
Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa, guur atau ustadz yang
memberikan pelajaran di lembaga pendidikan Islam harus meminta izin terlebih
dahulu konta saja, isi peraturan ini membuat masyarakat pribumi terutama para
Santri/ Murid melakukan perlawanan karena ustadz dan kyainya yang selalu
ditangkap dan dipenjara dengan alas an tidak memiliki izin.
·
Keadaan pendidikan Islam di Aceh
Materi pendidikan Islam di Aceh pada masa penjajahan
Belanda adalah sebagai berikut:
a.
Belajar Huruf Hijaiyah (Alfabet Arab)
b.
Juz’amma (Disebut Al-Qur’an Kecil)
c.
Mengaji Al-Qur’an (Disebut Al-Qur’an Besar)
Setelah
hal-hal yang berkaitan dengan pembacaan atau cara mengaji Al-Qur’an selesai,
maka dilanjutkan kepada kitab-kitab Bahasa Melayu, seperi:
a.
Masail Al-Muthadi
b.
Bidayah
c.
Miftahul Jannah
Berkahirnya
masa pembacaan kitab-kitab Melayu, kemudian dilanjutkan bagi santri untuk
segera mempelajari kitab-kitab Bahasa Arab seperti:
a.
Dammon
b.
Jurmiyah
c.
Tafsir Jalalain
Jadi, keberadaan Belanda di Indonesia, tentunya akan
menyulitkan Ulama untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam. Karena penjajahan
Belanda sangat ingin mengkuasai Negara Indonesia, bukan saja ingin mengkuasai
Negara Indonesia, tetapi banyak cara yang ingin di ambil oleh Belanda di
Indonesia. Dan juga ingin memanfaatkan orang-orang Indonesia untuk bekerja
ditempat mereka. Itulah yang dilakukan oleh penjajahan Belanda terhadap
Indonesia.
3.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya Madrasah di
Indonesia, khususnya di Aceh ialah:
·
Gejolak
dan sifat perlawanan nasional terhadap penguasa colonial Belanda.
·
Kemudian
pembaharuan pendidikan Islam yang disebabkan karena munculnya ketidakpuasan
terhadap pola tradisional.
·
Dan
rencana dari para ulama Islam untuk mendirikan sekolah yang berbasis agama.
4.
Proses
reformasi (Pembaharuan) lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya Aceh
ialah, Kerajaan Aceh
Darussalam mulai mencapai kemajuan dikendalikan oleh Sultan Iskandar Muda
(1607-1636).
Kemajuan itu
tidak saja terlihat dalam bidang pertahanan dan keamanan negara, hubungan
dengan luar negeri dan kemakmuran rakyat, tetapi juga yang tidak kurang
pentingnya adalah dalam bidang pendidikan.
Sejalan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Aceh berkembang
pula lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada dalam wilayahnya. Tampaknya
raja-raja yang memerintah turut berperan dalam membangun lembaga- lembaga
pendidikan di daerah kekuasaannya. Selain meunasah, mesjid dan rangkang, juga
mulai didirikan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikenal dengan
nama dayah.
Kemajuan pendidikan pada waktu itu ditandai oleh banyaknya ahli
ilmu pengetahuan (ulama) yang berkumpul terutama di ibukota kerajaan ( beberapa di antara mereka yang dipandang
sebagai tokoh pendidikan dalam bagian berikut di bawah) dan usaha pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan di seluruh wilayah kerajaan.
Di samping dilakukan pembinaan lembaga lembaga pendidikan
(meunasah, mesjid, rangkang dan dayah) lama di daerah bekas kerajaan-kerajaan
lokal dulu (naggro) juga didirikan sejumlah besar lembaga pendidikan baru,
sedang di ibukota Banda Aceh Darussalam, untuk lebih memberikan kesan sebagai
kota pusat pengembangan ilmu pengetahuan didirikan Mesjid Baitul Musyahadah dan
Baitur-Rahman,w dengan Jami'ahBaitur-Rahmannya. Jami'ah ini dapat
disamakan dengan sebuah institut pada masa
sekarang, sebagai pusat studi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan diperkirakan
setidaknya ada tujuh belas "lembaga" di sana.[1]
Padamasa kemundurannya (akhir abad ke-I8 dan ke-19). Sejumlah dayah
yang diperkirakan didirikan dan berkembang selama abad ini antara lain ialah:
Dayah Tgk. Chiek Tanoh Abee, Dayah Tgk. Chiek Kuta Karang (Dayah Ulee Susu),
Dayah Lam Birah, Dayah Lam Nyong, Dayah Lam Bhuk, Dayah Krueng Kalee, Dayak Lam
Krak, Dayah Lam Pucok dan Dayah Lam U di Aceh Besar; Dayah Rumpet di Kuala
Daya, pantai barat; Dayah Tgk. Chiek Ditiro, Dayah Tgk. Chiek Tante Geulima. di
Aceh Pidie, Dayah Meunasah Biang (Samalanga) dan beberapa Dayah di sekitar kuta
pertahanan Batee Iliek yang memegang peranan penting selama perang Belanda di
sana, seperti Dayah Cot Meurak, Dayah Pulo Baroh dan lain-lain (Aceh Utara).[2]
Tampaknya
selama perang kolonial Belanda, dayah memegang peranan penting dalam pengerahan
tenaga pejuang (murid) ke medan pertempuran maupun dalam menumbuhkan semangat
juang rakyat secara masai, terutama melalui pembacaan Hikayat Perang Sabi di
dayah-dayah, rangkang, meunasah dan mesjid; dan bahkan ada dayah seperti dayah
di sekitar Batee Iliek yang langsung menjadi kuta pertahanan. Karena itu tidak
mengherankan apabila selama akhir abad ke-19 banyak dayah yang terbengkalai
atau langsung diserang oleh tentara Belanda karena dianggap sebagai basis
konsentrasi kekuatan pejuang rakyat.
Setelah perang
rakyat semesta terhenti (lebih kurang tahun 1904, perlawanan secara bergerilya
terus berlangsung sampai Belanda meninggalkan Indonesia) para ulama (Teungku
Chiek) berusaha membangun kembali dayah-dayah dan rangkang yang selama ini
ditinggalkan. Dan agaknya sejak waktu itu untuk istilah dayah atau rangkang
kadang-kadang dipergunakan juga seperti yang diistilahkan di pulau Jawa, yaitu Pasantren;
bahkan di daerah Aceh Barat dan Selatan istilah ini lebih populer bila
dibandingkan dengan dayah dan rangkang.
Selain itu pada
permulaan pendudukan militer Jepang tahun 1942 di Aceh Selatan juga didirikan
sebuah pasantren yang sampai sekarang terkenal di seluruh Aceh, yaitu:
Pasantren Darussalam Labuhan Haji.
Setelah Indonesia merdeka lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional
di Aceh, seperti juga di daerah-daerah lain, tampaknya dapat hidup dan
berkembang terus berdampingan dengan lembaga-lembaga pendidikan modern, seperti
madrasah, sekolah dan sebagainya yang didirikan oleh pemerintah dan badan-badan
swasta lainnya. Dan sampai tahun 1972 jumlah dayah/pasantren yang terdaftar di
Aceh sebanyak 244 buah dengan guru 591 orang dan santri sebanyak 11.721
orang.46 Kenyataan bahwa dayah/pasantren dapat hidup dan berkembang di alam
kemerdekaan ini, terutama disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah Republik
Indonesia di bidang pendidikan yang, di samping terus membangun berbagai jenis
lembaga pendidikan formal dan non formal dengan segala tingkatannya (sejak
tingkat dasar sampai tingkat tinggi), juga tetap melindungi serta memberi
bantuan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang selama
berabad-abad telah berkembang di Indonesia.
5. Di era perjuangan, ulama dayah adalah
sebagai kekuatan dalam melawan penjajah. Ulama dayah merupakan suatu komunitas
khusus di antara ulama Aceh. Sebelum kedatangan Belanda dayah-dayah di Aceh
sering dikunjungi masyarakat luar Aceh.Pada masa perang melawan Belanda para
ulama mendirikan madrasah-madrasah, dimasa kemerdekaan mendirikan
organisasi-organisasi islam seperti Nahdatul Ulama, dan lain sebagainya.Masa
setelah kemerdekaan yaitu didirikannya pesantren-pesantren dan dibentuknya
majelis ulama yang bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan.
No comments:
Post a Comment