Wednesday, 19 October 2016

contoh soal sejarah pendidikan di aceh


SEJARAH PENDIDIKAN DI ACEH 
1.       Proses masuknya Islam ke Aceh ialah, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab. Daerah yang pertama kali didatangi olehsisir sumatera, adapun Islam yang pertama adalah di pasai. Masuknya Islam ke Aceh ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. Dan jalur yang digunakan adalah :
1.      Perdagangan yang mempergunakan sarana pelayaran.
2.      Dakwah, yang dilakukan oleh Mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai Sufi Pengembara.
3.      Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
4.      Pendidikan, pusat-pusat perkonomian itu berkembangan menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
5.      Kesenian, jalur yang banyak sekali dipakai untuk penebaran Islam terutama di Jawa adlah seni.
        Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak member pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan Mubaligh  sangat besar. Karena mubaligh tersebt tidak hanya berasal dari Aceh, tetapi juga Persia, India. Juga dari Negeri sendiri.






A.    Perkembangan Islam di Aceh
Ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembangan di Aceh, yaitu letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan Jalur Timur Tengah dan Tiongkok. Pengaruh Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.
B.     Pengkajian Islam pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh
1.      Zaman kerjaan samudra pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan samudra pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (Tahun 1444M/ abad ke-15 H).
Menurut Ibnu Batutah. Pasai pada abad ke-14M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyaknya ulama-ulama yang berkumpul dan Negara-negara Islam. Bentuk pendidikan yang digunakan dengan cara diskusi, yang disbut Majlis Ta’lim atau Halaqoh, sistem Halaqoh yaitu murid mengambil posisi melingkari guru. Dan guru duduk ditengah dengan dilingkari murid dan posisi seluruh wajah murid terhadap guru.
2.      Zaman kerajaan perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (Tahun 1161-1186 H/ abad 12 M). Antara pasai dan perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di pantai selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.
Kerajaan Islam perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam di Dayah Cot Kala. Dayah juga di samakan dengan Prguruan Tinggi, materi yang diajarkan seperti Bahasa Arab, Tauhid, Tasawuf, Akhlak, Ilmu Bumi, Ilmu Bahasa dan Sastra Arab, sejarah dan Tatanegara, Mantiq, Ilmu Falaq, dan Filafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3H, abad ke 10 M inilah pusat pendidikan pertama.





3.      Zaman kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan kerajaan Islam samudra pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Pada masa kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan Masjid sebagai tempat beribadah umat Islam. Salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (Fakultas).
-          Sultan Alaiddin Abdul Azizi, Pembangun Awal kebudayaan Islam di Indonesia.
Kerajaan Islam perlak dengan cepat membangun pusat-pusat pendidikan di tiap-tiap kampungn yang dinamakan Madrasah, yang kemudian dalam perjalanan sejarah menjadi Meunasah. Yang tetap ada sampai sekarang di tiap-tiap gampong di Aceh.
-          Sultan Alaiddin Johan Syah, Pembangun Pusat Kebudayaan Islam Banda Aceh.
2.      Kesulitan yang dialami oleh lembaga pendidikan Islam selama penjajahan Belanda di  Aceh ialah, keberadaan Belanda di Indonesia tentunya akan menyulitkan Islam untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam. Karena Belanda sendiri punya tujuan untuk menyebarkan agama Kristen prostestan di Indonesia. Proses kristensasi yang dilakukan Belanda kepada masyarakat pribumi dengn cara membangun lembaga pendidikan Kristen.
Selain lembaga pendidikan Kristen, Belanda juga mendirikan beberapa lembaga    pendidikan khususnya bagi masyarakat Belanda seperti Meer Uitggebreid Lager Onderwij (MULO) setingkat SMP. Algemene Middlebare School (AMS) setingkat SMA, dan Kweek School (KS) sekolah Guru.
Pada tahun 1905 M Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa, guur atau ustadz yang memberikan pelajaran di lembaga pendidikan Islam harus meminta izin terlebih dahulu konta saja, isi peraturan ini membuat masyarakat pribumi terutama para Santri/ Murid melakukan perlawanan karena ustadz dan kyainya yang selalu ditangkap dan dipenjara dengan alas an tidak memiliki izin.


·         Keadaan pendidikan Islam di Aceh
Materi pendidikan Islam di Aceh pada masa penjajahan Belanda adalah sebagai berikut:
a.       Belajar Huruf Hijaiyah (Alfabet Arab)
b.      Juz’amma (Disebut Al-Qur’an Kecil)
c.       Mengaji Al-Qur’an (Disebut Al-Qur’an Besar)
Setelah hal-hal yang berkaitan dengan pembacaan atau cara mengaji Al-Qur’an selesai, maka dilanjutkan kepada kitab-kitab Bahasa Melayu, seperi:
a.       Masail Al-Muthadi
b.      Bidayah
c.       Miftahul Jannah
Berkahirnya masa pembacaan kitab-kitab Melayu, kemudian dilanjutkan bagi santri untuk segera mempelajari kitab-kitab Bahasa Arab seperti:
a.       Dammon
b.      Jurmiyah
c.       Tafsir Jalalain
Jadi, keberadaan Belanda di Indonesia, tentunya akan menyulitkan Ulama untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam. Karena penjajahan Belanda sangat ingin mengkuasai Negara Indonesia, bukan saja ingin mengkuasai Negara Indonesia, tetapi banyak cara yang ingin di ambil oleh Belanda di Indonesia. Dan juga ingin memanfaatkan orang-orang Indonesia untuk bekerja ditempat mereka. Itulah yang dilakukan oleh penjajahan Belanda terhadap Indonesia.






3.      Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya Madrasah di Indonesia, khususnya di Aceh ialah:
·         Gejolak dan sifat perlawanan nasional terhadap penguasa colonial Belanda.
·         Kemudian pembaharuan pendidikan Islam yang disebabkan karena munculnya ketidakpuasan terhadap pola tradisional.
·         Dan rencana dari para ulama Islam untuk mendirikan sekolah yang berbasis agama.

4.             Proses reformasi (Pembaharuan) lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya Aceh ialah, Kerajaan Aceh Darussalam mulai mencapai kemajuan dikendalikan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Kemajuan itu tidak saja terlihat dalam bidang pertahanan dan keamanan negara, hubungan dengan luar negeri dan kemakmuran rakyat, tetapi juga yang tidak kurang pentingnya adalah dalam bidang pendidikan.
Sejalan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Aceh berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada dalam wilayahnya. Tampaknya raja-raja yang memerintah turut berperan dalam membangun lembaga- lembaga pendidikan di daerah kekuasaannya. Selain meunasah, mesjid dan rangkang, juga mulai didirikan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikenal dengan nama dayah.
Kemajuan pendidikan pada waktu itu ditandai oleh banyaknya ahli ilmu pengetahuan (ulama) yang berkumpul terutama di ibukota kerajaan  ( beberapa di antara mereka yang dipandang sebagai tokoh pendidikan dalam bagian berikut di bawah) dan usaha pembangunan lembaga-lembaga pendidikan di seluruh wilayah kerajaan.
Di samping dilakukan pembinaan lembaga lembaga pendidikan (meunasah, mesjid, rangkang dan dayah) lama di daerah bekas kerajaan-kerajaan lokal dulu (naggro) juga didirikan sejumlah besar lembaga pendidikan baru, sedang di ibukota Banda Aceh Darussalam, untuk lebih memberikan kesan sebagai kota pusat pengembangan ilmu pengetahuan didirikan Mesjid Baitul Musyahadah dan Baitur-Rahman,w dengan Jami'ahBaitur-Rahmannya. Jami'ah ini dapat disamakan dengan sebuah institut pada masa sekarang, sebagai pusat studi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan diperkirakan setidaknya ada tujuh belas "lembaga" di sana.[1]
Padamasa kemundurannya (akhir abad ke-I8 dan ke-19). Sejumlah dayah yang diperkirakan didirikan dan berkembang selama abad ini antara lain ialah: Dayah Tgk. Chiek Tanoh Abee, Dayah Tgk. Chiek Kuta Karang (Dayah Ulee Susu), Dayah Lam Birah, Dayah Lam Nyong, Dayah Lam Bhuk, Dayah Krueng Kalee, Dayak Lam Krak, Dayah Lam Pucok dan Dayah Lam U di Aceh Besar; Dayah Rumpet di Kuala Daya, pantai barat; Dayah Tgk. Chiek Ditiro, Dayah Tgk. Chiek Tante Geulima. di Aceh Pidie, Dayah Meunasah Biang (Samalanga) dan beberapa Dayah di sekitar kuta pertahanan Batee Iliek yang memegang peranan penting selama perang Belanda di sana, seperti Dayah Cot Meurak, Dayah Pulo Baroh dan lain-lain (Aceh Utara).[2]
Tampaknya selama perang kolonial Belanda, dayah memegang peranan penting dalam pengerahan tenaga pejuang (murid) ke medan pertempuran maupun dalam menumbuhkan semangat juang rakyat secara masai, terutama melalui pembacaan Hikayat Perang Sabi di dayah-dayah, rangkang, meunasah dan mesjid; dan bahkan ada dayah seperti dayah di sekitar Batee Iliek yang langsung menjadi kuta pertahanan. Karena itu tidak mengherankan apabila selama akhir abad ke-19 banyak dayah yang terbengkalai atau langsung diserang oleh tentara Belanda karena dianggap sebagai basis konsentrasi kekuatan pejuang rakyat.
Setelah perang rakyat semesta terhenti (lebih kurang tahun 1904, perlawanan secara bergerilya terus berlangsung sampai Belanda meninggalkan Indonesia) para ulama (Teungku Chiek) berusaha membangun kembali dayah-dayah dan rangkang yang selama ini ditinggalkan. Dan agaknya sejak waktu itu untuk istilah dayah atau rangkang kadang-kadang dipergunakan juga seperti yang diistilahkan di pulau Jawa, yaitu Pasantren; bahkan di daerah Aceh Barat dan Selatan istilah ini lebih populer bila dibandingkan dengan dayah dan rangkang.
Selain itu pada permulaan pendudukan militer Jepang tahun 1942 di Aceh Selatan juga didirikan sebuah pasantren yang sampai sekarang terkenal di seluruh Aceh, yaitu: Pasantren Darussalam Labuhan Haji.  Setelah Indonesia merdeka lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional di Aceh, seperti juga di daerah-daerah lain, tampaknya dapat hidup dan berkembang terus berdampingan dengan lembaga-lembaga pendidikan modern, seperti madrasah, sekolah dan sebagainya yang didirikan oleh pemerintah dan badan-badan swasta lainnya. Dan sampai tahun 1972 jumlah dayah/pasantren yang terdaftar di Aceh sebanyak 244 buah dengan guru 591 orang dan santri sebanyak 11.721 orang.46 Kenyataan bahwa dayah/pasantren dapat hidup dan berkembang di alam kemerdekaan ini, terutama disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah Republik Indonesia di bidang pendidikan yang, di samping terus membangun berbagai jenis lembaga pendidikan formal dan non formal dengan segala tingkatannya (sejak tingkat dasar sampai tingkat tinggi), juga tetap melindungi serta memberi bantuan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang selama berabad-abad telah berkembang di Indonesia.
5.      Di era perjuangan, ulama dayah adalah sebagai kekuatan dalam melawan penjajah. Ulama dayah merupakan suatu komunitas khusus di antara ulama Aceh. Sebelum kedatangan Belanda dayah-dayah di Aceh sering dikunjungi masyarakat luar Aceh.Pada masa perang melawan Belanda para ulama mendirikan madrasah-madrasah, dimasa kemerdekaan mendirikan organisasi-organisasi islam seperti Nahdatul Ulama, dan lain sebagainya.Masa setelah kemerdekaan yaitu didirikannya pesantren-pesantren dan dibentuknya majelis ulama yang bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan.








[1]Dept. Pendidikan dan kebudayaan, Sejarah pendidikan daerah istimewa Aceh, Jakarta 1984, hal. 17
[2]A. Hasjmy, Pendidikan Islam di Aceh Dalam Perjalanan Sejarah, Sinar Darussalam 1975, hl. 5-38
                                                            

No comments:

Post a Comment