BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhir-akhir ini banyak sekali orang-orang yang tidak
mengerti sejarah tentang peradaban umat islam itu sendiri. Padahal jika kita
membaca sejarah umat islam yang lalu, apalagi sejarah awal mulanya islam
mengenal tentang politik, itu sangat berguna sekali bagi kedepannya umat islam,
agar umat islam itu sendiri tidak sampai terjatuh kedua kalinya, karna pada
masa lalu, perbuatan-perbuatan orang-orang islam banyak yang ‘’nyeleneh’’ atau
keluar dari tuntunan-tuntunan mereka (al-qur’an & al-hadist). Maka
dari itu kita harus tahu sejarah, karna dengan mempelajarinya kita akan lebih
tahu dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan ini kami
disini akan membahas sebagian dari sejarah umat islam yang salah satunya adalah
kaum ‘’qadariah’’. Kaum qadariah itu sendiri adalah kaum yang menolak akan
adanya qadar dari tuhan,untuk lebih lengkapnya marilah kita baca makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah:
1. Pengertian Qadariah
2. Sejarah Qadariah
3. Doktrin-doktrin Qadariah
4. Tokoh-tokoh Qadariah
C.
Tujuan
Dari rumasan masalah
diatas maka tujuannya:
1.
Supaya mahasiswa/i mengetahuai apa itu Qadariah dan bagaimana sejarahnya
2.
Supaya mahasiswa/i mampu memahami apa saja doktrin-doktrin Qadariah dan tokoh-tokohnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QADARIAH
Qadariyah
berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan
dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi
segala perbuatannya ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dalam
hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar tuhan.[1]
Seharusnya sebutan
Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan
tersebut telah melekai kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai
kebebasan berkehandak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para
pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadis yang menimbulkan kesan
negatif bagi nama qadariyah. Kelahiran qadariah
sendiri merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani
Umayyah, walaupun kaum qadariah sendiri selalu mendapatkan tekanan dari
pemerintahan Bani Umayyah namun kaum ini tetap selalu bisa berkembang. Golongan ini sendiri menyatakan bahwa tidak ada alasan
yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan.
B. SEJARAH MUNCULNYA KAUM QADARIAH
Paham qadariah itu
sendiri muncul akibat pengaruh dari orang luar (orang nasrani yang masuk islam
kemudian berbalik ke nasrani lagi). Muhammad ibn syu’aid yang memperoleh
informasi dari Al-Auza’i mengatakan bahwa mula orang yang membawa atau
memperkenalkan paham qadariah dalam kalangan islam itu sendiri adalan “SUSAN”
seperti yang dijelaskan diatas, dia adalah orang nasrani yang masuk islam
dengan tujuan mempengaruhi dan kemudian kembali lagi keagamanya lagi (Murtad).[2] Dan dari orang inilah
petama kalinya Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri dan
Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham
tersebut. Dan lahirnya qadariah itu sendiri dipengaruhi oleh paham bebas yang
berkembang dikalangan pemeluk agama masehi (Nestoria).
Ma’bad Al-jauhani dan
Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah
Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan
Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini
mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang
ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa faham Qadariyah berasal
dari orang Irak kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,
adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar
orang-orang yang lain tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula
menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher.[3]
Golongan Qadariyah ini
mengingkari Allah mengetahui perbuatan-perbuatan sebelum terjadinya dan
meyakini Ia belum menentukannya. Mereka mengatakan, Tidak ada takdir, bahwa
semua kejadian itu baru. Yaitu kejadian itu baru, tidak didahuluhi oleh takdir
dan tidak diketahui Allah sebelumnya. Allah hanya mengetahui setelah adanya
kejadian itu. Mereka berkeyakinan Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan
hamba-Nya dan takdir-Nya tidak berkaitan dengannya.
Dalam hal ini Max
Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan
kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala
tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas
Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya.
Menurut
al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad
Amin, bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya
(baik), tetapi dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu
mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan. Dialah penyebar paham
Qadariyah di Irak. Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Gailan ibn
Muslim) adalah penyebar paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka
tidak heranlah jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.
Ada dua motif
timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebabkan oleh 2 faktor.
Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana jauh sebelumnya mereka telah
memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor
intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya
protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama
Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Apakah dengan kematian
tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan terhadapnya, kemudian paham
Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar secara organisasi atau aliran
mereka tidak berwujud lagi, tetapi existensi ajarannya masih tetap berkembang,
yaitu dianut oleh kaum Mu'tazilah. Bidah Qadariyah mempunyai dua konsepsi
pokok yaitu, Pertama: Mengingkari ilmu Allah, Kedua:
Hamba-hambalah yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka dengan sendirinya
(tanpa ada kaitannya dengan takdir Allah).
Perbedaan mereka
dengan salaf adalah terletak pada konsepesi mereka yang menyatakan bahwa
pebuatan-perbuatan hamba-hamba telah ditakdirkan untuk mereka dan dari hasil
usaha mereka sendiri tidak ada kaitannya dengan kekuasaan Allah. Kebatilan
madzhab yang terahir ini lebih ringan daripada madzhab pertama. Ibnu Taimiyah
menjelaskan maksud perkatakaan-perkataan salaf yang mengafirkan Qadariy, “Para
ulama salaf mengkafirkan golongan Qadariyah yang menolak al-Kitab dan ilmu
Allah dan mereka tidak menvonis kafir seorang (Qadariy) yang menetapkan ilmu
Allah dan seorang Qadariy yang mengingkari perbuatan-perbuatan hamba itu
ciptaan Allah.
Imam Syafi’i, Imam
Ahmad dan para imam yang lainnya menvonis kafir seorang Qadariy yang
mengingkari ilmu Allah yang terdahulu. Golongan Qadariyah telah hilang, akan
tetapi Mu’tazilah membangun konsepsinya di atas konsepsi Qadariyah dan
menyebarluaskannya. Dengan demikian kita dapat memprediksikan bahwa Mu’tazilah
mewarisi ilmu dari Qadariyah. Oleh karena itu Mutazilah disebut juga Qadariyah.
Berikut beberapa dalil
yang mereka pakai :
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal
kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri".
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 165)
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisa [4]:111)
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisa [4]:111)
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya, dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’du
[13]:11)
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
(QS. Al-Kahfi [18])
Ahmad Amin, ada ahli
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan. Oleh Ma’bad
Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat
dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghalian adalah seorang
orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam
kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain
bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang
semuala beragama kristen kemudian beragama islam dan balik lagi keagama
kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang irak
yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’i. Sementara itu, W.
Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam
bahasa jerman yang dipublikasikan melaului majalah Der Islam pada tahun 1933.
Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah
atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan
catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas memilih antara berbuat baik atau buruk.
C. DOKTRIN-DOKTRIN QADARIAH
Dalam kitab Al-Milal
wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang
doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang
begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di
kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu
doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah
karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[4]
Harun Nasution
menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya. Mansuia sendiri pula melakukan atau menjauhi
perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah
yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia
berkuasa atas segala perbuatannya. Dari beberapa penjelasan diatas ,dapat di
pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Mansuia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.[5] Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula Pokok-pokok ajaran
Qadariah, menurut Prof.Dr.Ahmad dalam bukunya “Fajrul Islam” di kelompokkan
terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1.Tentang perbuatan manusia
Menurut Qadariah, bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk
berbuat dan bertindak. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya
atas perbuatan sendiri. Manusia itu bebas berbuat atau tidak berbuat. Itulah
sebabnya manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik,
dan menerima celaan atau hukuman atas perbuatannya yang salah.
2.Tentang dosa besar
Perbuatan dosa besar yang dilakukan oleh
seorang mukmin kemudian mati sebelum taubat maka orang tersebut
kafir.
3.Tentang keesaan tuhan
Menurut faham Qadariah
bahwa Allah itu esa dalam arti lain Allah itu tidak mempunyai sifat wajib dan
jaiz. Menurut mereka allah itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar dan melihat
dengan dzat nya sendiri.
Pendapat yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat qadim, mennurut Qadariah
sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu dan tidak bersekutu
dengan segala hal.
4.Tentang akal manusia
Menurut Qadariah bahwa akal manusia mampu
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun allah tidak menurunkan
agama. Sebab, kata mereka sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkan baik atau
buruk misalnya “benar” itu memiliki sifat yang menyebabkan baik, dan sebaliknya,
“bohong” itu juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkan buruk.
D. TOKOH-TOKOH QADARIAH
1.
Abdullah ibn Umar
2.
Jabir ibn Abdullah
3.
Abu Hurairah
4.
ibn Abbas
5.
Anas ibn Malik
6.
Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri
7.
Ghailan al-Dimasyqi
8.
Hasan Al-Bashri
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi kaum qadariah
itu sendiri adalah kaum yang tidak mengakui akan adanya qadar dari tuhan.
Golongan qadariah ini perbuatannya mengingkari Allah. Mereka menganggap bahwa
apa yang teradi terhadap diri manusia itu sendiri semua adalah hal-hal yang
baru,jadi mereka tidak menganggap Allah SWT tidak pernah menciptakan qadar dan
menganggap Alllah SWT tahu akan suatu kejadian setelah perbuatan itu sendiri
terjadi. Mereka berkeyakinan Allah
tidak menciptakan perbuatan-perbuatan hamba-Nya dan takdir-Nya tidak berkaitan
dengannya. Jadi golongan qadariah ini adalah golongan yang kafir,bagaimana
tidak, yang mempunyai fikiran pertama atau yang menciptakan kaum qadariah ini
sendiri adalah orang yang murtad, malah lebih hina dari pada mahluk Allah yg
paling hina. Karna dia adalah orang nasrani yang masuk islam dan menyebarkan
paham yang kafir dan setelah itu dia keluar dari islam dan kembali lagi ke
agamanya semula.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Amin, Fajr Al-Islam, Kairo, 1994.
Al-Bagdadi,
Al-Farq bain Al-firaq, Maktabah
Muhammad Ali Subeih, Kairo.
Anwar
Rosihon, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah, Jakarta: Cipatut
1978.
Yunani
Yusuf, Alam Pikiran Islam, Jakarta:
1990.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah, Jakarta:
Cipatut 1978, hal.31
[2] Al-Bagdadi, Al-Farq bain
Al-firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo: Hal. 71
[3] Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia, 2001, Hal 72
[4] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam,
Kairo: 1994. Hal 287
[5] Yunani Yusuf, Alam Pikiran Islam,
Jakarta: 1990, Hal. 25
No comments:
Post a Comment